This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Minggu, 29 September 2013

Televisi Membentuk Muka INDONESIA


     Tayangan sinetron Indonesia akhir-akhir ini sering menghiasi televisi kita. Hampir semua stasiun televisi berlomba-lomba untuk memproduksi sebuah sinetron. Tingkat persaingan antar stasiun televisi pun semakin ketat. Semua orang menikmati serunya sinetron termasuk anak - anak. Faktor yang mendorong lakunya permintaan terhadap tayangan sinetron diantaranya adalah daya tarik cerita dan tokoh cerita yang di gemari. Jam tayang sinetron yang terlalu padat dan isi cerita yang terlalu berlebihan, mengakibat kan dampak yang buruk bagi masyarakat terutama anak-anak yang masih mengalami proses pendewasaan dalam diri mereka. Anak akan meniru karakteristik tokoh – tokoh yang terlibat dalam tayangan sinetron. Anak meniru kata-kata dalam sinetron karena senang dengan gaya tokoh yang ada dalam sinetron. Terlebih disaat zaman syarat dengan teknologi seperti saat ini, televisi tidak hanya dinikmati untuk sekeluarga, akan tetapi tiap individu-pun sudah memiliki sebuah televisi sendiri dan bebas mengakses seluruh tayangan-tayangan yang tersedia tanpa batas dan tanpa pengawasan orang tua.
Banyak acara sinetron yang beralur cerita kurang baik. Seperti kata-kata kasar, mode pakaian yang tidak sopan, serta kisah percintaan yang berlebihan. Walaupun mempunyai dampak buruk, tetapi acara sinetron masih saja tetap tayang, bahkan semakin marak di televisi. Hal ini lah yang menjadi maraknya kasus-kasus amoral yang dilakukan oleh anak-anak atau remaja. Karena dalam benak mereka sudah tertanam model-model kehidupan seperti halnya dalam sinitron-sinitron yang sebagian besar krisis akan moral dan berakibat pada konsumen yang kebanyakan anak-anak atau remaja cenderung meniru adegan-adegan yang disuguhkan dalam sebuah sinetron tersebut.
Mudahnya ­­­­­kepribadian anak terpengaruh dengan tayangan-tayangan televisi tersebut menjadi masalah bagi kita semua. Terlebih apabila acara televisi banyak menampilkan tayangan dari negara luar yang notabene jauh akan nilai-nilai budaya negri kita ini. Lambat laun, efek paling mengerikan adalah hilangnya nilai-nilai moral atau identitas negara Indonesia sendiri dan akan bergeser dengan budaya-budaya dari luar. Sehingga, prediksi awam mengatakan 10-15 tahun kedepan budaya-budaya luhur indonesia akan bergeser menjadi budaya barat yang sekarang banyak digemari oleh anak ataupun remaja yang tentunya melalui tayangan televisi.
Lalu, mengapa dengan mudah masyarakat kita terpengaruh dengan budaya-budaya barat? Masalah ini bukan merupakan faktor bawaan atau herediter akan kesenangan sesaat saja dan langsung terpengaruh dengan budaya negara lain. Akan tetapi merupakan faktor bentukan dari pengalaman individu selama proses perkembangan dirinya menjadi dewasa. Proses pembentukan tidak terjadi dalam waktu singkat, melainkan melalui proses interaksi secara berkesinambungan. Burns (1979) menyatakan bahwa konsep diri berkembang terus sepanjang hidup manusia, namun pada tahap tertentu, perkembangan konsep diri mulai berjalan dalam tempo yang lebih lambat. Secara bertahap individu akan mengalami sensasi dari badannya dan lingkungannya, dan individu akan mulai dapat membedakan keduanya.
Lebih lanjut Cooley (Partosuwido, 1992) menyatakan bahwa konsep diri terbentuk berdasarkan proses belajar tentang nilai-nilai, sikap, peran, dan identitas dalam hubungan interaksi simbolis antara dirinya dan berbagai kelompok primer tersebut mampu memberikan umpan balik memberikan kepada individu tentang bagaimana penilaian orang lain terhadap dirinya. Dan dalam proses perkembangannya, konsep diri individu dipengaruhi sekaligus terdistorsi oleh penilaian dari orang lain (Sarason, 1972). Dengan demikian bisa dikatakan bahwa proses pertumbuhan dan perkembangan individu menuju kedewasaan sangat dipengaruhi oleh lingkungan asuhnya karena seseorang belajar dari lingkungannya.
        Hal tersebut menjadi sangat jelas, ketika anak-anak yang notabene akan menjadi pembawa "muka" Indonesia kedepan disuguhkan dengan kemodernisasian yang dimanivestasikan dengan tayangan sinitron yang krisis akan nilai moral dan lepas dari pengawasan orang tua. Akibatnya, anak tidak tertanam identitas yang jelas tentang siapa dirinya dan seperti apa lingkungannya. Anak cenderung meniru mentah-mentah apa yang dia lihat dalam sinitron itu yang selanjutnya membentuk karakter dia. Ilustrasi singkat itu dengan jelas disimpulkan bahwa karakter atau tingkah laku anak atau remaja dapat dengan mudah dibentuk atau dipengaruhi hanya dengan nnonton televisi. walaupun kemodernisasi kini menjadi salah satu hal yang wajib diikuti oleh suatu masyarakat, alangkah lebih bijaknya kita bisa memilih mana yang pantas untuk dikonsumsi dan mana yang tidak.



Ditulis Oleh : M. Mahrus Afif
12410047

[Pemenuhan Tugas Individu]


"Berkembang bukan Berubah"
“ Aku pengen jadi kayak  ayah  mbak,” celoteh adik saya saat dia berumur 3 tahun. Beberapa tahun kemudian  (kira-kira saat dia berumur  5 tahunan) adik saya sangat ingin menjadi penyanyi dan artis  karena akan terlihat cantik terkenal dan popoler di kalangan masyarakat. Namun setelah berumur 7 tahun dia mengatakan ingin jadi dokter, dan saya selalu direpotkan dengan mainan ‘dokter-dokter an’ nya yang selalu berantakan di kamar. Saat ini adik saya berumur 12 tahun dan dia memiliki cita-cita yang berbeda lagi, ingin jadi Chef. Hal ini berawal dari hobinya menonton acara-acara memasak di televisi. Dan sejak saat itu pula dia sangat rajin memporakporandakan dapur rumah kami. Meskipun begitu, semua yang dia lakukan, harapan dan cita-citanya  akan menjadi kenangan berharga dalam keluarga saya.
Setiap manusia pasti dilahirkan dengan cita-cita dan harapan akan dirinya, dan pastinya berbeda antar satu dan lainnya. Cita-cita juga tidak selalu statis, akan berkembang seiring dengan perkembangan kehidupan manusia. Seperti adik saya yang awalnya ingin menjadi seperti ayah namun saat ini ingin menjadi seorang Chef. Cita-cita yang dimiliki oleh seseorang dapat mencerminkan konsep  diri yang dimiliki. Atwater (1987) menyebutkan bahwa konsep diri adalah keseluruhan gambaran diri, yang meliputi persepsi seseorang tentang tentang diri, perasaan, keyakinan, dan nilai-nilai yang berhubungan dengan dirinya. Selanjutnya, Atwater mengidentifikasi konsep diri atas tiga bentuk. Pertama, body image ( kesadaran tentang tubuhnya) yaitu bagaimana seseorang melihat dirinya sendiri. Kedua, ideal self   yaitu bagaimana cita-cita dan harapan-harapan seseorang mengenai dirinya. Dan ketiga, social self yaitu bagaimana orang lain melihat dirinya.
Lantas, bagaimana  konsep diri seseorang bisa terbentuk ??  Pada dasarnya konsep diri terbentuk  berdasarkan  presepsi seseorang  tentang sikap orang lain terhadap dirinya.  Pada masa kanak-kanak, timbul suatu pemikiran dan kemampuan untuk merasakan bahwa lingkungan dan orang lain yang akan menentukan siapa diri-nya. Misalnya seorang anak di dalam keluarganya selalu dianggap kurang mampu (kurang pintar), selalu diremehkan dan di olok-olok maka untuk kedepannya anak tersebut akan mempunyai konsep yang sama mengenai dirinya seperti yang dikatakan keluarganya, begitupun juga sebaliknya. Pada saat memasuki tahap remaja, seseorang akan mengalami banyak dalam dirinya termasuk perubahan tingkah laku. Perubahan tingkah laku ini akan menimbulkan sikap yang berubah-ubah pula dari orang lain terhadap dirinya. Hal ini mengakibatkan konsep diri seseorang pada masa remaja cenderung tidak konsisten, namun ke tidak konsistenan itu akan dapat berkembang dan membentuk konsep diri yang konsisten dalam kehidupan selanjudnya.
Konsep Diri tidak mengalami ‘perubahan’ namun ‘perkembangan’. Perkembangan konsep diri seseorang dipengaruhi oleh lingkungan dan interaksi dengan orang lain. Selain itu perkembangan dan kemajuan zaman juga dapat mempengaruhi perkembangan konsep diri seseorang. Contohnya, seseorang yang hidup di zama penjajahan, berada di lingkungan yang mengancam, perang perebutan kekuasaan, kemiskinan dalam dirinya akan terbentuk suatu pemahaman bahwa dia hidup di dunia ini adalah untuk berjuang sekuat tenaga memerdekaan Indonesia dan menciptakan kesejahteraan. Berbeda dengan masa sekarang, masa yang serba modern, dimana perkembangan tekhnologi begitu pesat dan penuh persaingan yang sangat ketat. Sadar atau tidak, manusia pada  masa ini akan memiliki konsep sebagai seorang yang sedikit demi sedikit mengarah kepada perilaku hedonis.
Konsep Diri menunjukkan siapa diri kita sebenarnya. Kurang bijak rasanya jika kita menganggap lingkungan yang bertanggung jawab pada siapa dan seperti apa diri kita. Setiap manusia memiliki wewenang untuk menentukan. Perlu adanya fondasi yang kuat dalam diri untuk membangun konsep diri yang kuat pula.


Ditulis oleh   Mey Hariyanti (12410102)

Minggu, 22 September 2013

Aspek Psikologi Sosial


          
  Psikologi sosial melibatkan 3 aspek , yaitu aspek ‘kognisi’, ‘afeksi’, dan, ‘behavior’. Dalam aspek kognisi, dijelaskan bagaimana psikologi sosial menjadi fondasi pemikiran seseorang, bagaimana pola fikir dikembangankan dan mengapa dapat terjadi perubahan pemikiran atau pandangan seseorang.
Aspek Afeksi menunjukkan keterlibatan psikologi sosial dalam memunculkan presepsi seseorang terhadap suatu objek (masyarakat/seseorang/kelompok lain) dimana presepsi ini akan menjadi suatu kepercayaan yang melekat dalam diri seseorang atau kelompok masyarakat.
Sedangkan aspek Behavior  menunjukkan adanya pengaruh psikologi sosial dalam mengatur perilaku seseorang berdasarkan beberapa faktor.
Berikut ini adalah pengelompokan aspek psikologi sosial berdasarkan artikel kelompok IV :
 Aspek Kognisi
-          Sebagian besar anak akan memiliki pola fikir yang sesuai dengan lingkungan dan interaksi anggota didalam lingkungannya

Aspek Afeksi
-          Munculnya stigma karena adanya pergeseran nilai dan norma
Aspek Behavior
-          Pengendalian perilaku dikarenakan adanyaaturan suatu institusi
-          Interaksi antar orangtua dan anak atau pendidik dan peserta didik dalam suatu lingkungan sosial
-          Adanya aturan dan sanksi dalammenentukan perilaku
-          Penanaman perilaku melalui modeling
(
(untuk memenuhui tugas kelompok  senin,16 sep 2013)


Minggu, 15 September 2013

Etika Seseorang Jadi Baik Di Pondok


Pondok Pesantren adalah sebuah tempat dimana santri (orang yang mondok) dapat belajar ilmu agama kepada kyai dengan sungguh-sungguh.Tak hanya belajar agama juga tetapi etika dan moral manusia akan diajarkan disana.Istilah pesantren berasal dari kata pe-santri-an, di mana kata "santri" berarti murid dalam Bahasa Jawa. Istilah pondok berasal dari Bahasa Arab funduuq (فندوق) yang berarti penginapan. Khusus di Aceh, pesantren disebut juga dengan nama dayah. Biasanya pesantren dipimpin oleh seorang Kyai. Untuk mengatur kehidupan pondok pesantren, kyai menunjuk seorang santri senior untuk mengatur adik-adik kelasnya, mereka biasanya disebut lurah pondok. Tujuan para santri dipisahkan dari orang tua dan keluarga mereka adalah agar mereka belajar hidup mandiri dan sekaligus dapat meningkatkan hubungan dengan kyai dan juga Tuhan.(1) 

Menurut sejumlah masyarakat, pondok pesantren adalah sebuah tempat dimana seseorang bisa berubah. Maksud dari kata berubah ialah bahwasanya seseorang yang dulunya mempunyai etika yang buruk kemudian setelah lama hidup di pondok pesantren dia mempunyai etika yang baik.Di pondok pesantren seseorang tak hanya dituntut mencari ilmu saja tetapi mereka disana juga belajar masalah etika,hal itulah yang membuat etika mereka menjadi lebih baik.

Kyai merupakan seorang guru dan juga orang tua bagi para santri di pondok pesantren yang mengajarkan perihal agama, tak hanya menjadi guru saja,tetapi Kyai juga menjadi panutan perihal etika bagi para santri. Istilah Kyai bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Jawa, kata Kyai mempunyai makna yang agung, keramat, dan dituahkan. Selain gelar Kyai diberikan kepada seorang laki-laki yang lanjut usia, arif, dan dihormati di Jawa. Gelar Kyai juga diberikan untuk benda-benda yang keramat dan dituahkan, seperti keris dan tombak. Namun demikian pengertian paling luas di Indonesia, sebutan Kyai dimaksudkan untuk para pendiri dan pemimpin pesantren, yang sebagai muslim terhormat telah membaktikan hidupnya untuk Allah SWT serta menyebarluaskan dan memperdalam ajaran-ajaran serta pandangan Islam melalui pendidikan.(2) Kyai pun tak hanya mengajar para santri saja, kyai juga mengawasi etika dan perilaku para santrinya. Berdasarkan teori, pondok pesantren merupakan tempat untuk mengendalikan,mengawasi perilaku seseorang atau dalam teori disebut pengendalian institusionalPengendalian institusional; yaitu pengaruh yang ditimbulkan dari adanya suatu institusi atau lembaga. Pola perilaku lembaga tersebut tidak hanya mengawasi para anggota lembaga itu saja, akan tetapi juga mengawasi dan berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat di sekitar lembaga tersebut berada.(3)

Di pondok pesantren seseorang dikendalikan oleh aturan-aturan yang dibuat oleh pemimpinya yaitu Kyai. Mereka para santri wajib mematuhi peraturan yang ada di pondok pesantren. Ketika ada seorang santri yang melanggar peraturan tersebut maka dia akan dikenai sanksi dengan apa yang dia lakukan. Semisal seorang santri yang tidak mengikuti pengajian kyai dan ketahuan dia akan di hukum untuk membaca al-quran atau kalau tidak disuruh membersihkan kamar mandi santri. Ketika seorang santri melakukan pelanggaran yang berat maka santri tersebut bisa dikeluarkan dari pondok. Biasanya para santri tidak akan melanggar aturan tersebut karena hukuman-hukumannya yang berat melainkan para santri takut kalau ilmunya tidak akan manfaat suatu hari nanti karena tidak dirihoi oleh Kyainya. Disamping seorang santri mematuhi peraturan-peraturan,mereka juga meniru etika dan perilaku Kyai karena Kyai adalah sosok yang idola bagi para santri. Hal itu kalau dalam teori psikologi disebut ModellingModeling atau peniruan merupakan "the direct, mechanical reproduction of behavior, reproduksi perilaku yang langsung dan mekanis (Baran & Davis, 2000: 184).(4) 
Mereka meniru etika dan perilaku Kyai juga karena mereka menganggap apa yang dilakukan Kyai adalah baik menurut agama dan baik menurut masyarakat. 

Para santri biasanya pergi mondok karena disuruh oleh orangtua mereka. Mereka disuruh oleh orangtua mereka karena banyak motif. Ada orangtua yang ingin memondokan anak-anaknya agar anaknya mendalami ilmu agama dan juga ada yang ingin agar anak-anaknya memiliki etika yang lebih baik ketimbang anak-anak yang tidak mondok. Anak-anak yang tidak mondok sangat berbeda dari pada anak-anak yang mondok. Entah itu masalah keilmuan atau masalah etika. Dizaman globalisasi ini sangat banyak anak-anak yang memiliki etika yang buruk karena mereka tidak diajarkan ilmu agama dan etika yang baik sejak dini. Dan mereka jarang sekali memiliki seorang panutan yang baik menurut masyarakat dan baik menurut agama bagi kehidupan mereka. Biasanya panutan anak-anak zaman sekarang kalau enggak para artis ya pemain sepak bola. Itulah perbedaan antara anak yang mondok dan anak yang tidak mondok. Oleh karena itulah para orangtua lebih memilih memondokan anak mereka ketimbang membiarkan mereka dirumah dan bermain bersama teman-temannya.

Etika seseorang yang buruk bisa berubah menjadi baik karena di pondok. Etika atau pun sikap bukanlah sebuah bawaan tetapi etika tercipta karena seseorang berinteraksi dengan lingkungan mereka. Faktor-faktor etika dan sikap seseorang bisa berubah adalah karena lingkungan. Pondok merupakan salah satu faktor tersebut. Pondok adalah sebuah institusi atau lembaga pendidikan agama. Institusi berfungsi meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu. Pemahaman baik dan buruk, salah atau benar, yang menentukan sistem kepercayaan seseorang hingga ikut berperan dalam menentukan sikap seseorang.(5) 

Oleh sebab itu khususnya untuk orangtua kalau ingin anak-anaknya mempunyai etika yang baik, saya sarankan untuk memondokkanya.

Sabtu, 14 September 2013

“ Remaja…Oh Remaja…”
 ( Perkembangan Sosial dan Kognitif Remaja)
oleh : Mey Hariyanti / 12410102

Masih hangat diberitakan di berbagai media kecelakaan maut yang terjadi di tol Jagorawi kilometer 8 arah selatan dari arah Bogor mengarah ke Cibubur  Jakarta Timur pada hari Minggu (8/9/2013) sekitar pukul 00.45. Akibat insiden itu, 7 orang tewas dan belasan lainnya luka(1). Berita tersebut semakin memasnas di media karena penyebab utama kecelakaan maut ini adalah  anak musisi Ahmad Dhani, Abdul Qadir Jaelani ( Dul). Kejadian ini sangat mengejudkan banyak pihak, pasalnya saat itu Dul masih berusia 13 tahun dan belum memiliki SIM. Ahmad Dhani mendapat banyak kecaman dari berbagai pihak dan dianggap terlalu memanjakan memberi kebebasan penuh anak seumuran Dul yang semestinya masih perlu pengawasan ketat dari orang tua. Kejadian ini tentunya menimbulkan stigma masyarakat terhadap keluarga Ahmad Dhani.

Lain lagi kisah Inun, gadis ( +16 tahun)  yang kerap saya lihat diperempatan Dieng, Malang. Inun dan beberapa teman sebayanya kerap meminta-minta dan mengamen disana, hampir setiap hari, setiap waktu, bahkan di jam-jam sekolah. Saya masih ingat saat beberapa minggu yang lalu kami mengobrol didepan mall IT Dieng. Saat itu (karena penasaran dan iseng) saya dan suami bertanya padanya dimana dia tinggal, apa pekerjaan orang tuanya, dan mengapa dia tidak bersekolah. Inun, gadis kecil berkisah bahwa dia tinggal di  daerah sekitar terminal gadang. Dengan polosnya dia bercerita bahwa orang tuanya juga menjadi peminta-minta,sama seperti dirinya. Inun meninggalkan bangku sekolah sejak duduk di kelas 3 SD, dan setelah itu setiap harinya mulai jam 8 pagi sampai jam 9 siang dia dan teman sebayanya ‘berebut rezeki’ di perempatan jalan raya Dieng. Jelas saya sangat prihatin hanya karena himpitan ekonomi  serang remaja seperti Inun dan teman-temannya harus melupakan bagaimana rasanya mengenyam pendidikan dan hidup dalam lingkungan yang penuh tantangan.
Masih banyak lagi kasus-kasus berkaitan dengan remaja negeri ini. Pergaulan bebas, narkoba, kriminalitas, dan masih banyak lagi. Saat ini, remaja cenderung diidentikkan dengan hal negative melihat semakin banyaknya pergeseran nilai yang di lakukan oleh kebanyakan remaja. Masa remaja sesungguhnya sebuah transisi menuju masa berikutnya, masa yang penuh peluang dan resiko. Masa remaja berada di pertigaan kehidupan antara cinta, pekerjaan dan partisipasi dalam masyarakat dewasa(2). Pada masa ini remaja juga dihadapkan pada pencarian jati diri atau identitas dirinya. Percarian Identitas didefinisikan Erikson sebagai konsepsi tentang diri, penentuan tujuan, nilai dan tujuan yang dipegang teguh oleh seseorang. Pencarian identitas diri menjadi fokus utama remaja dikarenakan perkembangan kognitif remaja memungkinkan mereka untuk mampu memikirkan dan menyusun teori tentang dirinya (Elkind,1999)(3)
Meskipun kognisi remaja berkembang pesat, namun mereka belum memiliki prinsip yang kuat dalam hidup. Konsep sudah dibangun namun belum diperkokoh. Itulah sebabnya mengapa para remaja cenderung mudah terpengaruh oleh orang lain. Keluarga, teman sebaya, dan masyarakat dalam lingkungan akan sangat mempengaruhi pembentukan konseb dan pola pemikiran para remaja.
Contohnya dalam kasus kecelakaan Aldul Qodir Jailani di Tol Jagorawi. Dalam kesehariannya, Dul sudah terbiasa difasilitasi dengan barang-barang mewah, termasuk mobil pribadi. Selain itu Dul sudah terbiasa tinggal dalam lingkungan glamour selebriti dikarenakan kedua orang tuanya adalah public figure. Karena adanya sikap demikian dari orang orang tua dan pengaruh dari  lingkungan Dul yang beranjak remaja pastinya akan merasa memiliki kebebasan penuh pada apa yang dia lakukan dan merasa mendapat dukungan penuh dari keluarga serta lingkungan. Sehingga menghiraukan larangan mengemudi bagi anak-anak (< 17 thn.) dan belum memiliki SIM. Intinya, sikap yang muncul dari remaja merupakan implementasi atas apa yang dia dapat dari lingkungan kelompoknya . Dan perubahan sikap dapat terjadi tergantung pada banyaknya interaksi dengan kelompok intern maupun kelompok ekstern.(4)
Peranan keluarga dan lingkungan sangatlah penting bagi perkembangan social remaja. Hal ini dikarenakan didalam lingkungan keluarga akan terbentuk suatu internalisasi nilai dan norma untuk pertama kalinya, meskipun mungkin nilai dan norma itu dapat bergeser dikarenakan sebab-sebab tertentu.
Perkembangan social remaja juga dipengaruhi oleh status sosio-ekonomi dari keluarga. Seorang peneliti Jerman, Prestel (gerungan) menyatakan “ prestasi anak-anak dari keluarga yang rendah status social-ekonominya pada akhir kelas pertama lebih tinggi daripada prestasi anak-anak dari keluarga yang status-sosio ekonominya tinggi.” Sebuah penelitian lain dari Hetser menyatakan bahwa “ anak-anak dengan latar belakan sosio-ekonomi rendah akan lebih cepat menyesuaikan diri dengan sebuah tugas pekerjaan baru”(5). Jika saya membandingkan dengan kisah Inun mungkin pernyataan Hetser lebih sesuai. Kehidupan keluarganya dan pergaulannya dengan anak jalanan membuat Inun terbiasa dengan segala tantangan yang dia hadapi sehingga dia akan lebih mampu menyesuaikan diri dibanding anak-anak yang memiliki tingkat ekonomi lebih tinggi. Sejak kecil orang tuanya telah menerapkan internalisasi norma keluarga yang kuat terhadap dirinya. Inun di cetak sebagai pribadi yang mengganggap sekolah tidak ada manfaatnya dibanding kongkow di perempatan lampu merah, mencari uang bersama teman-teman sebayanya. Dari sini terlihat bahwa sebenarnya terdapat kolaborasi (saling mempengaruhi) antara peranan keluarga, lingkungan dan status sosio-ekonomi terhadap perkembangan social para remaja.  
  Permasalahan dan perkembangan remaja merupakan masalah yang kompleks dan seharusnya mendapatkan perhatian yang cukup besar. Remaja saat ini sejatinya adalah pemegang kendali kehidupan negeri ini di masa depan. Jika saat ini saja banyak remaja terlibat ke dalam hal-hal negative, bagaimana untuk kedepannya?  Tentunya diperlukan kerjasama dan kesadaran antara masyarakat dan pemerintah untuk mencetak remaja-remaja yang berkualitas secara intelektual maupun social, selalu memegang nilai dan norma positif dan sehingga tidak mudah goyah menghadapi tantangan zaman. 

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

(2)   Papalia,Diane.2008.Human Development.Perdana Media Group. hal 587
(3) Faturrohman,Dr..Pengantar Psikologi social.Pustaka.
(4)   Gerungan,W.A.1986.Psikologi Sosial.Rosda.hal 99,108
(5)   Sarwono,S.W.1995.Teori Psikologi Sosial.Grafindo Persada
 (6)   http://id.wikipedia.org/wiki/Remaja

Jumat, 13 September 2013

KONFLIK PERUBAH SIKAP, SIKAP PEMICU KONFLIK

 

Masih terngiang dalam benak kita perang antar dua suku yang terjadi di negeri tercinta ini? Salah satu perang antar suku yang memanas terjadi sekitar tahun 2001 adalah perang sampit yang melibatkan suku dayak asli dengan para imigran Madura yang menetap di Kalimantan. Perang ini dimulai di kota Sampit, Kalimantan tengah dan meluas ke seluruh provinsi, termasuk ibu kota Palangkaraya.
Tidak ada yang tau pasti mengapa konflik dua etnis ini pecah. Banyak rumor beredar berkenaan dengan alasan pecahnya perang antar suku ini diantaranya  kebakaran pemukiman suku dayak disebabkan oleh warga Madura, pemeskosaan seorang gadis dayak oleh pria Madura, pertikaian antara pemuda-pemuda dayak dengan pemuda-pemuda Madura, selain itu Profesor Usop dari Asosiasi Masyarakat Dayak mengklaim bahwa pembantaian oleh suku Dayak dilakukan demi mempertahankan diri setelah beberapa anggota mereka diserang(1), dan masih banyak lagi.Namun semua itu hanyalah rumor dan tidak ada yang tau pasti penyebab pecahnya perang sampit yang sebenarnya.Ironis, hanya karena rumor yang jauh dari kepastian itu lebih dari 500 orang kehilangan nyawa dan lebih dari 1000 orang Madura kehilangan tempat tinggal.(2)
            Pecahnya konflik dua suku ini sejatinya disebabkan oleh rasa etnosentrisme yang melekat kuat pada kedua belah pihak. Semangat persukuan yang kuat juga mendasari solidaritas antar anggota dalam suku. Seperti yang kita bketahui, dalam interaksi suatu kelompok masyarakat (terutama suku akan terbentuk suatu norma dan nilai yang disepakati masyarakat. Norma dan nilai inilah yang akan membangun sikap ( attitude) yang khas pada setiap kelompok masyarakat yang tentunya berbeda antar satu dan lainnya. Seperti pada kasus konflik suku dayak dan suku Madura. Pada mulanya masing-masing kelompok dapat benerima perbedaan yang ada, namun menyebarnya rumor memberikan stigma satu sama lain hingga terjadi pertikaian dan konflik yang berkepanjangan.
Konflik berkepanjangan ini  tidak hanya memakan banyak korban jiwa namun juga menyisakan sikap (attitude ) negative yang timbul pada masing-masing kelompok suku. Attitude negative akan memicu tindakan yang khas dan berulang-ulang manusia atau kelompok terhadap suatu objek.(3) Dengan kata lain dimanapun orang dayak dan Madura bertemu, akan selalu ingin memuinculkan sikap negative, meskipun tidak ditunjukkan langsung sebagai wujud tindakan.


[Untuk pemenuhan tugas kelompok]


(1)   http://id.wikipedia.org/wiki/Konflik_Sampit, "Kalimantan's Agony: The failure of Transmigrasi". CNN. Diarsipkan dari aslinya tanggal 2008-05-31. Diakses 2008-08-13
(2)   http://id.wikipedia.org/wiki/Konflik_Sampit, "Indonesia flashpoints: Kalimantan". BBC. June 28, 2004. Diakses 2008-08-13.
(3)   Gerungan,W.A.,1986. Psikologio Sosial. Bandung, Rosda

(4)   Faturrahman,MA. 2005.Pengantar Psikologi Sosial.Yogyakarta,Pustaka